Pengupayaan kasus tentang penyalahgunaan teknologi informasi diIndonesia
Dunia teknologi
Internet telah memberikan revolusi dan inovasi terhadap manusia dalam melakukan komunikasi.
Sebuah dunia yang sangat transparan terhadap perkembangan teknologi dan informasi yang begitu cepat dan besar
dalam mempengaruhi peradaban umat manusia. Internet telah mengubah masyarakat dunia yang lokal menjadi masyarakat dunia yang global.
The Big Villages adalah sebuatan untuk dunia maya yang didalamnya terdapat masyarakat luas yang saling menyapa.
Namun dalam penggunaannya, internet sering disalah gunakan oleh pihak yang memanfaakan keahlianya untuk berbuat kriminalitas ataupun
hanya sekedar iseng saja. Hal ini sangat marak dilakukan oleh kalangan peguna internet baik remaja, orang tua maupun anak-anak. Hadirnya
internet memberikan catatan tersendiri bagi penegak hukum di negara kita. Bagaimana tidak, semua tindak kriminal yang berhubungan
dengna internet sangatlah beragam jenisnya, mulai dari hak cipta, pembajakan, penyalahgunaan akses bahkan sampai tindakan pencemaran
nama baik perorangan atau suatu instansi. Hal ini sangatlah kontras dengan hukum yang mengaturnya bahkan di Indonesia masih sangatlah
minim batasan-batasan yang bisa dijadikan acuan untuk menjerat pelaku dalam melakukan tindak kriminal. Latar belakan ini bisa kita kaji secara garis besar adalah karena perkembangan teknologi yang sangat pesat tapi tidak dibarengi dengan batasan aksesnya. Ketimpangan ini mejadikan hukum yang kurang kuat atau bersifat abu-abu belaka.
Penegakkan hukum di Indonesia tentang penyalahgunaan komputer dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain : Undang- Undang, mental para aparat, perilaku masyarakat, sarana dan kultur. Penegak hukum tidak hanya dituntut untuk profesional dan pintar dalam mengakkan hukum tapi, juga bekerja extra keras.
Persoalan kriminalisasi timbul karena dihadapan kita terdapat perbuatan yang berdimensi baru, sehingga muncul pertanyaan adakah hukumnya untuk perbuatan tersebut. Kesan yang muncul kemudian adalah terjadinya kekosongan hukum yang akhirnya mendorong kriminalisasi terhadap perbuatan tersebut. Sebenarnya dalam persoalan cybercrime, tidak ada kekosongan hukum, ini terjadi jika digunakan metode penafsiran yang dikenal dalam ilmu hukum dan ini yang mestinya dipegang oleh aparat penegak hukum dalam menghadapi perbuatan-perbuatan yang berdimensi baru yang secara khsusus belum diatur dalam undang-undang. Persoalan menjadi lain jika ada keputusan politik untuk menetapkan cybercrime dalam perundang-undangan tersendiri di luar KUHP atau undang-undang khusus lainnya. Sayangnya dalam persoalan mengenai penafsiran ini, para hakim belum sepakat mengenai kateori beberapa perbuatan. Misalnya carding, ada hakim yang menafsirkan masuk dalam kateori penipuan, ada pula yang memasukkan dalam kategori pencurian. Untuk itu sebetulnya perlu dikembangkan pemahaman kepada para hakim mengenai teknologi informasi agar penafsiran mengenai suatu bentuk cybercrime ke dalam pasal-pasal dalam KUHP atau undang-undang lain tidak membingungkan.
Kriminalisasi juga terkait dengan persoalan harmonisasi, yaitu harmonisasi materi/substansi dan harmonisasi eksternal (internasional/global). Mengenai harmonisasi substansi, bukan hanya KUHP yang akan terkena dampak dari dibuatnya undang-undang tentang cybercrime. Kementerian Komunikasi danInformasi RI mencatat ada 21 undang-undang dan 25 RUU yang akan terkena dampak dari undang-undang yang mengatur cybercrime. Ini merupakan pekerjaan besar di tengah kondisi bangsa yang belum stabil secara politik maupun ekonomi. Harmonisasi eksternal berupa penyesuaian perumusan pasal-pasal cybercrime dengan ketentuan serupa dari negara lain, terutama dengan Draft Convention on Cyber Crime dan pengaturan cybercrime dari negara lain. Harmonisasi ini telah dilaksanakan baik dalam RUU PTI, RUU IETE, RUU ITE, RUU TPTI maupun dalam RUU KUHP. Judge Stenin Schjolberg dan Amanda M. Hubbard mengemukakan dalam persoalan cyber crime ini diperlukan standardisasi dan harmoonisiasi dalam tiga area, yaitu legislation, criminal enforcement dan judicial review. Ini menunjukkan bahwa persoalan harmonisasi merupakan persoalan yang tidak berhenti dengan diundangkannya undang-undang yang mengatur cybercrime, lebih dari itu adalah kerjasama dan harmonisasi dalam penegakan hukum dan peradilannya.
Sumber: http://persahabatannayokimi.blogspot.com/2014/01/penegakkan-hukum-teknologi-informasi-di.html